Waspada 28 Agustus 2016 |
Di bagian barat Indonesia ada sebuah permukiman yang bernama Kampung Negarawan. Berbagai jenjang usia, suku, agama, status diri hingga kepemilikan harta bermukim di Kampung yang dijuluki paling toleran tersebut. Mayarakat di sana hidup dengan rukun dan tentram.
Menjelang kemerdekaan RI ke 71 masyarakat tampak sangat sibuk. Beberapa rumah berlomba mendirikan tiang bendera pencakar langit. Rumah yang memiliki tiang bendera tertinggi akan mendapatkan penghargaan dari pemimpin kampung. Maka, semua pemuda kampung pergi ke hutan mencari bambu paling kokoh dan tinggi.
Bahkan, anak-anak hingga remaja juga sibuk berlatih berbagai kategori lomba yang akan diadakan pada hari kemerdekaan. Nuansa kemerdekaan sangat terasa meskipun hari kemerdekaan masih harus menghitung panjang. Dua puluh satu hari lagi.
Adapula sebagian pria dewasa bergotong royong membersihkan selokan. Dan sebagian bunga desa menyiapkan konsumsi para pekerja gotong royong. Mulai dari kue basa, roti kukus, dan teh manis.
Sebagian lainnya membasuh bendera merah putih kebanggan Kampung Negarawan. Bendera tersebut ibarat pusaka keramat bagi masyarakat. Saat hendak berangkat ke air terjun guna membersihkan sang saka yang akan dikibarkan pada 17 Agustus nanti. Langkah pemudi itu terhenti melihat seorang anak kecil berlari terhuyun-huyun, “Bu ... Ka .. di sana, di sana ada seorang pria yang terluka. Di kaki air terjun.”
Sebagian lainnya membasuh bendera merah putih kebanggan Kampung Negarawan. Bendera tersebut ibarat pusaka keramat bagi masyarakat. Saat hendak berangkat ke air terjun guna membersihkan sang saka yang akan dikibarkan pada 17 Agustus nanti. Langkah pemudi itu terhenti melihat seorang anak kecil berlari terhuyun-huyun, “Bu ... Ka .. di sana, di sana ada seorang pria yang terluka. Di kaki air terjun.”
Lima orang pemuda bergegas ke lokasi tersebut. Benar saja, seorang pemuda tergeletak tidak sadarkan diri tepat di kaki air terjun.
“Dia masih hidup.”
Pria tersebut langsung dibopong pemuda setempat ke rumah Pak Karno. Satu-satunya tabib di Kampung Negarawan.
Berkat pengobatan yang diberikan Pak Karno, setelah pingsan hampir empat jam, pria itupun akhirnya bisa membuka mata.
“Hah!” pria itu menghambur dari pembaringan. Posisi tubuh waspada, “kalian siapa?”
“Kamu yang siapa?” tanya salah seorang warga.
“Dia masih hidup.”
Pria tersebut langsung dibopong pemuda setempat ke rumah Pak Karno. Satu-satunya tabib di Kampung Negarawan.
Berkat pengobatan yang diberikan Pak Karno, setelah pingsan hampir empat jam, pria itupun akhirnya bisa membuka mata.
“Hah!” pria itu menghambur dari pembaringan. Posisi tubuh waspada, “kalian siapa?”
“Kamu yang siapa?” tanya salah seorang warga.
Walau sedikit merepotkan untuk menjelaskan perihal diri pria itu. Tidak berselang lama, kesadarannya pun pulih. Ia mengingat kejadian yang dialaminya hingga ia terjatuh dan tidak sadarkan diri di kaki air terjun.
Pria itu hanyalah wisatawan yang menjelajahi hutan. Ia terpisah dari kawan-kawannya saat menelusuri hutan pada malam hari. Hampir sepekan mereka di dalam hutan mencari beberapa rempah-rempah langka. Konon, Pak Karno juga menggunakan rempah-rempah tertentu dalam proses pengobatannya.
Awalnya, sebagian besar masyarakat menerima kehadiran pria itu. Namun, setelah mengamati tampilan fisiknya. Beberapa warga menaruh curiga. Pria yang kemarin sore ditemukan pingsan di kaki air terjun yang memiliki perawakan rupa mata sipit dan kulit putih. Sangat berbeda dengan kebanyakan masyarakat Kampung Negarawan.
Tujuh pemuda Kampung Negarawan mendatangi rumah Pak Karno. Selain tabib, Pak Karno juga menjadi orang yang didengarkan ucapannya.
“Pak, mohonlah pulangkan orang asing itu.”
“Kenapa? Dia juga warga Indonesia, sama seperti kita. Bapak sudah mengundangnya untuk merayakan hari kemerdekaan di kampung kita.”
“Tidak bisa, Pak!” sergah salah seorang warga, “dia itu penjajah.”
“Benar. Lihat saja tampangnya. Mata sipit dan kulitnya yang putih. Dia pasti warga Jepang yang menyamar dan ingin mencuri kekayaan hutan kita. Seperti jaman nenek kita dahulu.”
“Saya tidak tahan melihat pria itu menelusuri kampung ini lebih jauh. Dia sudah sehat. Jangan sampai momen kemerdekaan dikotori oleh tampang-tampang penjajah di kampung ini. Dan jangan sampai ia melihat bendera itu. Aku khawatir ia akan mencuri bendera yang usianya sama seperti usia bangsa ini.”
Pak Karno tersenyum mendengar pengaduan para pemuda kampung.
“Kalian terlalu panik. Sejak dulu, kampung ini dikenal paling harmonis, toleran, dan bersahabat. Warga kampung ini juga dikenal sebagai tempat paling nasionalis. Walau kita belum berbuat banyak untuk negeri ini. Mereka hanya melihat sikap kita yang santun dan menunjukkan kearifan budaya lokal.”
“Pak, mohonlah pulangkan orang asing itu.”
“Kenapa? Dia juga warga Indonesia, sama seperti kita. Bapak sudah mengundangnya untuk merayakan hari kemerdekaan di kampung kita.”
“Tidak bisa, Pak!” sergah salah seorang warga, “dia itu penjajah.”
“Benar. Lihat saja tampangnya. Mata sipit dan kulitnya yang putih. Dia pasti warga Jepang yang menyamar dan ingin mencuri kekayaan hutan kita. Seperti jaman nenek kita dahulu.”
“Saya tidak tahan melihat pria itu menelusuri kampung ini lebih jauh. Dia sudah sehat. Jangan sampai momen kemerdekaan dikotori oleh tampang-tampang penjajah di kampung ini. Dan jangan sampai ia melihat bendera itu. Aku khawatir ia akan mencuri bendera yang usianya sama seperti usia bangsa ini.”
Pak Karno tersenyum mendengar pengaduan para pemuda kampung.
“Kalian terlalu panik. Sejak dulu, kampung ini dikenal paling harmonis, toleran, dan bersahabat. Warga kampung ini juga dikenal sebagai tempat paling nasionalis. Walau kita belum berbuat banyak untuk negeri ini. Mereka hanya melihat sikap kita yang santun dan menunjukkan kearifan budaya lokal.”
Kampung Negarawan memang dikenal sebagai wajah kecil Indonesia. Di kampung ini hampir sepuluh persen suku di Indonesia menetap. Empat agama berbeda hidup rukun. Tidak pernah ada isu sara. Nuansa nasionalis Kampung Negarawan sangat kental. Bahkan, setiap rumah penduduk pasti memajang poto presiden dan wakilnya ditambah dengan poto para pahlawan kemerdekaan.
Selang berdiskusi dengan Pak Karno. Para pemuda tersebut menghampiri pria asing tersebut. Mereka akan membuktikan apakah benar ia adalah warga Indonesia.
“Hai, orang asing!”
Pria asing itu terkejut. Bendera yang akan ia ikatkan pada tali terlepas hingga bendera itupun terjatuh ke tanah. Dan sialnya, tanpa sengaja, pria itu menginjak sebagian dari kain bendera tersebut. Salah satu pemuda mendorong tubuh pria berkulit putih itu hingga terjatuh.
“Ini bendera tidak boleh jatuh ke tanah. Apalagi sampai terinjak!” ucap pemuda setempat penuh emosi.
“Hanya bendera kok,” umpat pria asing itu.
“Bendera jatuh simbol kegagalan. Kamu orang Indonesia?”
“Ya, liat ini,” pria itu merogoh saku dan mengambil dompetnya. Kemudian menyodorkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya. Tertulis nama Ken Wibowo.
“KTP doang yang Indonesia. Hati tetap penjajah. Bendera aja berani ia jatuhkan dan ia injak.”
“Tapi, bagaimanapun dia adalah warga resmi Indonesia. Tampangnya memang penjajah. Tapi sesama warga Indonesia, kita bersahabat,” salah seorang pemuda sepertinya mulai menerima keadaan pria asing itu.
“Hai, orang asing!”
Pria asing itu terkejut. Bendera yang akan ia ikatkan pada tali terlepas hingga bendera itupun terjatuh ke tanah. Dan sialnya, tanpa sengaja, pria itu menginjak sebagian dari kain bendera tersebut. Salah satu pemuda mendorong tubuh pria berkulit putih itu hingga terjatuh.
“Ini bendera tidak boleh jatuh ke tanah. Apalagi sampai terinjak!” ucap pemuda setempat penuh emosi.
“Hanya bendera kok,” umpat pria asing itu.
“Bendera jatuh simbol kegagalan. Kamu orang Indonesia?”
“Ya, liat ini,” pria itu merogoh saku dan mengambil dompetnya. Kemudian menyodorkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya. Tertulis nama Ken Wibowo.
“KTP doang yang Indonesia. Hati tetap penjajah. Bendera aja berani ia jatuhkan dan ia injak.”
“Tapi, bagaimanapun dia adalah warga resmi Indonesia. Tampangnya memang penjajah. Tapi sesama warga Indonesia, kita bersahabat,” salah seorang pemuda sepertinya mulai menerima keadaan pria asing itu.
Hampir sepekan pria yang dianggap sebagian masyarakat sebagai penjajah itu menetap di Kampung Negarawan. Sebagian masyarakat masih tidak menerima kedatangannya.
Semakin dekat hari kemerdekaan, semakin tinggi pula rasa benci mereka. Apalagi saat melihat sikap pria itu yang suka menolong dan telaten membantu mempersiapkan perayaan kemerdekaan Indonesia ke 71. Tak bisa dipungkiri, sebagian warga lainnya menyukai keberadaan pria asing tersebut. Dan hal tersebut mengakibatkan sebagian warga semakin benci. Bagi mereka, sikap pria bermata sipit itu hanya kepura-puraan saja. Sama seperti sikap penjajah di masa lampau.
Sehari menjelang kemerdekaan Indonesia ke 71. Para warga telah selesai mempersiapkan moment sakral tersebut. Tanah lapang sudah bersih dan dihiasi umbul-umbul dengan nuansa merah putih. Rumah tetangga juga di cat dengan nuansa merah putih. Warna merah putih menyelimuti benda hias dan ornamen kemerdekaan. Benda-benda itu menghiasi hingga sudut-sudut kampung. Bendera pusaka pun sudah dipersiapkan dan disimpan di rumah Pak Karno untuk pengibaran sang saka esok pagi.
Pada malam harinya tiba-tiba terjadi malapetaka. Salah satu rumah warga terbakar. Masyarakat Kampung Negarawan panik dan histeris. Ini kali pertama terjadi kebakaran di kampung itu.
Terang saja, semua pemuda bahu membahu memadamkan api. Dua jam berlalu, dan akhirnya si Jago Merah kalah juga. Dua rumah terbakar, termasuk rumah Pak Karno.
“Syukur tidak ada korban jiwa,” ucap salah satu warga.
“Tapi bendera merah putih ada di rumah Pak Karno. Lenyap sudah sejarah itu.”
Para warga mulai membenahi perkakas yang terbakar. Melihat apakah bendera merah putih yang dianggap warga sebagai jantung Kampung Negarawan masih selamat dari jilatan api. Walau kemungkinan selamat sangat mustahil.
“A—ada, ma-aa ada mayat!” teriak seseorang dari arah rumah Pak Karno. Semua warga berlari ke arah sumber suara. Jasad siapakah itu? Bukankah semua keluarga Pak Tarno berada di rumah Pak Ramli guna menenangkan diri sebab rumahnya terbakar. Istri dan kedua anaknya bahkan masih menangis meratapi rumah mereka yang terbakar.
Warga mendapati kondisi jasad yang terbakar dalam kondisi tubuh meringkuk seperti orang kedinginan. Kaki rapat tertekuk, lutut dan dagu menyatu, serta tangan yang memeluk kedua kaki. Jasad itu seakan menyembunyikan sesuatu diantara dadanya.
Warga pun bergegas mengevakuasi mayat tersebut. Saat mereka hendak mengangkat jasad tersebut. Mereka terkejut melihat jam tangan yang memiliki model khas itu. Warga sangat mengenal pemilik jam tangan itu.
“Ini jasad pria asing itu,” lirih seorang pemuda.
“Ken Wibowo maksudmu?” tanya seorang gadis desa.
Mereka bergegas mengangkat jasad Ken Wibowo. Dan sunguh sangat tidak disangka, sebuah kain berwarna putih dengan bekas bakar terlihat sedikit menyembul dari sela kaki. Salah seorang pemuda menarik kain tersebut. Dan betapa mengejutkannya, kain putih itu adalah bendera pusaka Kampung Negarawan. Bendera yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Kampung Negarawan. Bendera pertama yang berkibar di wilayah tersebut. Dan bendera yang dibawa oleh pejuang kemerdekaan untuk mengusir sisa-sisa penjajah setelah proklamasi kemerdekaan.
Terang saja, semua pemuda bahu membahu memadamkan api. Dua jam berlalu, dan akhirnya si Jago Merah kalah juga. Dua rumah terbakar, termasuk rumah Pak Karno.
“Syukur tidak ada korban jiwa,” ucap salah satu warga.
“Tapi bendera merah putih ada di rumah Pak Karno. Lenyap sudah sejarah itu.”
Para warga mulai membenahi perkakas yang terbakar. Melihat apakah bendera merah putih yang dianggap warga sebagai jantung Kampung Negarawan masih selamat dari jilatan api. Walau kemungkinan selamat sangat mustahil.
“A—ada, ma-aa ada mayat!” teriak seseorang dari arah rumah Pak Karno. Semua warga berlari ke arah sumber suara. Jasad siapakah itu? Bukankah semua keluarga Pak Tarno berada di rumah Pak Ramli guna menenangkan diri sebab rumahnya terbakar. Istri dan kedua anaknya bahkan masih menangis meratapi rumah mereka yang terbakar.
Warga mendapati kondisi jasad yang terbakar dalam kondisi tubuh meringkuk seperti orang kedinginan. Kaki rapat tertekuk, lutut dan dagu menyatu, serta tangan yang memeluk kedua kaki. Jasad itu seakan menyembunyikan sesuatu diantara dadanya.
Warga pun bergegas mengevakuasi mayat tersebut. Saat mereka hendak mengangkat jasad tersebut. Mereka terkejut melihat jam tangan yang memiliki model khas itu. Warga sangat mengenal pemilik jam tangan itu.
“Ini jasad pria asing itu,” lirih seorang pemuda.
“Ken Wibowo maksudmu?” tanya seorang gadis desa.
Mereka bergegas mengangkat jasad Ken Wibowo. Dan sunguh sangat tidak disangka, sebuah kain berwarna putih dengan bekas bakar terlihat sedikit menyembul dari sela kaki. Salah seorang pemuda menarik kain tersebut. Dan betapa mengejutkannya, kain putih itu adalah bendera pusaka Kampung Negarawan. Bendera yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Kampung Negarawan. Bendera pertama yang berkibar di wilayah tersebut. Dan bendera yang dibawa oleh pejuang kemerdekaan untuk mengusir sisa-sisa penjajah setelah proklamasi kemerdekaan.
Keesokan harinya, upacara kemerdekaan Indonesia ke 71 tetap dilaksanakan. Sangat berbeda dengan tahun lalu yang penuh dengan gelak tawa kegembiraan. Pagi itu, seluruh warga berkumpul di lapangan Kampung Negarawan. Raut kesedihan menyelimuti acara sakral tersebut. Bendera merah putih dengan kondisi hampir tiga puluh persen terbakar tetap dikibarkan. Sang saka berkibar setengah tiang sebagai tanda bela sungkawa atas kematian Ken Wibowo dan petaka kebakaran di Kampung Negarawan.
Penulis : Firdaus ILo
Nama Lengkap : Ahmad Firdaus Tanjung
No comments :
Post a Comment