Menanti Takdir


Sial! Entah apa yang terjadi dengan sinyal kartu tersebut. Sudah dua jam aku mencoba, tapi tetap tidak bisa terkoneksi ke internet. Alhasil, malam ini aku tidak memperoleh satupun video pembelajaran. Padahal tadi aku sudah tidur lebih awal agar bisa bangun pukul dua pagi.

Akhir-akhir ini aku selalu memanfaatkan kuota internet malam. Walau dalam keadaan terkantuk-kantuk. Beberapa malam kemarin aku sukses mendownload beberapa video pembelajaran bahasa inggris. Dan menurutku, dari video yang aku dowload, aku merasa semakin mahir berbahasa inggris.

Aku sangat heran. Sudah sembilan tahun aku mempelajari bahasa inggris. Tapi tetap saja sampai detik ini aku tak mampu menggunakan bahasa international itu. Entah otak ini yang kurang bisa menerima bahasa tersebut, atau model pembelajaran guru di sekolah yang membuatku sulit memahaminya.

Ah! Menggerutu memang tiada guna. Malam ini malam paling sial. Aku tidak bisa tidur lagi, sebab tadi sudah sengaja tidur lebih awal. Berbeda dengan malam sebelumnya. Aku memang memaksakan untuk tidak tidur, menanti tengah malam. Dan malam ini aku sengaja tidur lebih awal, agar proses pencarianku di internet tidak terganggu oleh kantuk. Sungguh sial, kartu modem tersebut malah tidak ada sinyal. Entah apa yang salah. Huft!
 
Semua orang tertidur pulas, hanya terdengar suara jangkrik dan hewan malam yang aku sendiri tidak mengetahui jenis hewan apa itu.
 
Aku pikir tadi pasti hujan, tidak biasanya udara malam di dalam rumah sedingin ini. Kecuali kalau pintu terbuka. Ya, rumah ini memang kurang lubang angin. Aku sering kepanasan dan merasa sesak di dalam rumah. Apalgi, setiap dia menyulut rokoknya. Maka, aku akan membuka pintu meskipun sudah larut malam, untuk meminimalisir asap rokok. Entah kenapa, hidung ini sangat sensitif dengan asap rokok.
 
Aku pergi ke dapur, memanaskan air dan menyiapkan minuman kesukaanku, kopi susu. Aku akan menghabiskan malam ini di depan TV.

Sial! Acara apa yang mau ditonton semalam ini? Beberapa siaran malah menampilan TV rusak. Aku juga bingung bagaimana membahasakannya. Mungkin semua kru siaran tersebut sudah tertidur pulas. Alhasil jadilah siaran rusak. Hanya ada bunyi “Srrrrrr ...”

Aku menelusuri beberapa siaran televisi, berharap ada film barat. Ya, walaupun biasanya film yang ditayangkan adalah film lama. Setidaknya, ada yang menamaniku menghabiskan malam ini.
 
Aku terhenti di salah satu siara televisi. Aku bukan tipe pria yang menyukai sinetron. Apalagi sinetron yang tercium aroma lebay. Mungkin karena tidak menemukan film yang menarik. Aku terhenti di salah satu  FTV yang saat itu, mungkin tokoh utama film tersebut. Tokoh wanita itu menangis, meminta pertolongan ke rumah mertuanya. Yang hadir malah kakak ipar wanita tersebut. Kakak iparnya malah mengusir wanita itu.
 
“Ibu menyuruhku untuk mengusirmu. Ibu sudah tidak menganggap suami kamu itu sebagai anaknya.”
 
Kakak iparnya tersebut berbohong. Ia tidak memberitahukan ke ibu mertuanya bahwa menantunya datang untuk meminta pertolongan. Padahal, menantunya itu datang untuk meminta pinjaman uang, sebab suami wanita itu harus segera dioperasi karena pendarahan otak yang disebabkan kecelakaan.
 
Tokoh wanita itu bingung, kok ya tega, padahal anak lelaki satu-satunya.
 
Pernikahan mereka memang tidak direstui oleh sang Ibu. Dan sayangnya, sang kakak ipar, dia tega mengatakan itu agar adik iparnya tersebut meninggal. Sehingga ia bisa mewarisi harta warisan seutuhnya.
 
Seperti biasa, sebenarnya kita tahu akhir cerita dari sinetron negeri ini. Tapi entah kenapa, aku tetap saja mengikuti alur film tersebut.
 
Agak konyol sih ceritanya, tapi ya gitu, aku tetap mengikutinya. Bayangkan saja, saat sang Ibu tahu anaknya kecelakaan, ia malah memarahi menantunya karena tidak memberitahukan kabar itu ke dia. Sudah dibantah, tapi tetap tidak percaya. Dan malah, karena Sang Ibu tidak merestui pernikahan mereka, dia malah membuat tawaran.
 
“Aku akan membiayai operasi suami kamu. Tapi kalian harus bercerai, dan kamu menikah dengan pria A.”
 
Konyol banget kan? Disuruh cerai dan disuruh menikah dengan pria lain. Dan tokoh wanita itupun menyanggupinya.
 
Beberapa bulan kemudian, tokoh pria sudah siuman. Seperti biasanya, ia pun menanyakan keberadaan istrinya.
 
Tanpa merasa berdosa, Sang Ibu berkata, “dia itu wanita mata duitan. Saat kamu susah, dia malah menikah dengan lelaki kaya. Dia sudah menceraikan kamu saat kamu sakit dan menikah dengan pria kaya.”
 
Bukan main sakitnya hati tokoh pria itu. Ia menangis dan mencabut alat infus. Berusaha pergi menemui sang Istri.
 
Pria itu mendatangi rumah istrinya. Ia mendapati istrinya dan memang benar bahwa ia telah menikah lagi.
 
“Kamu doakan saja agar aku mati. Untuk apa aku hidup kalau orang yang aku cintai tak membersamai lagi.”
 
Agak puitis memang kalimat yang digunakan tokoh pria itu. Perempuan itu meminta maaf, dan berusaha menenangkan mantan suaminya tersebut.
 
Tiba-tiba masuk ke bagian dimana pria itu putus asa. Keadaan sengaja dibuat hujan lebat ditambah ada petir dan kilat yang saling bersahutan.
 
“Ya Allah. Cabut saja nyawaku. Aku tidak bisa hidup tanpa orang yang aku cintai.”
 
Di sinilah bagian terpentingnya. Seorang pria menangis untuk wanita yang ia cintai.
 
Awalnya aku berpikir itu sangat lebay. Aku bahkan teringat dengan kata-kata mutiara, bahwa cinta sejati itu adalah dicintai Tuhan. Kalau ada pria seperti itu, harus dibenerin lagi pemahaman dan pola pikirnya.
 
“Jangan mencintai sesuatu dengan berlebihan. Sebab bisa jadi kelak kamu akan membencinya.”
“Apa yang kamu peroleh hari ini. Baik itu keadaan suka ataupun duka. Tetaplah berprasangka baik kepada Tuhan. Sebab Tuhan tahu mana yang baik dan buruk untuk kamu. Tetaplah bersyukur.”
 
Harusnya tokoh pria itu membaca kata-kata mutiara itu. Ketika ia dikhianati oleh cinta. Hendaknya ia sadar, bahwa cinta yang hakiki itu adalah cinta Tuhan kepada Hamba-Nya. Cinta antar sesama manusia itu sangat rapuh.
 
Mudah memang mengatakan hal tersebut. Aku bahkan mencoba memposisikan diriku dengan tokoh pria itu. Entah apakah aku akan sanggup ketika aku menerima sebuah undangan pernikahan dari seorang wanita. Undangan pernikahan tersebut bertuliskan nama seorang wanita yang sudah bertahan dan menetap di dalam hati ini hampir dua belas tahun lamanya.
 
Entahlah, aku harap kisah tentang undangan itu hanya tertulis di cerita ini. Aku memang tak akan mampu mengatakan secara langsung. Bahkan mungkin, kata itu akan diucapkan pertama kali oleh ibuku, bukan aku. Yaitu, saat hendak memintamu untuk menjadi pendamping hidup anaknya.
 
Saat ini, aku hanya mampu memperjuangkanmu di dalam doa. Walau aku bukan hamba-Nya yang sholeh, aku berharap Dia menyatukan kita. Walau kelak Dia tak mempersatukan, aku harap kamu tidak mengetahui perasaan ini saat aku menghadiri pernikahanmu. Sebab, aku tak ingin akan ada rasa ketidakenakan diantara kita.
 
Sebenarnya, kata kunci dalam kisah kita yaitu, kalaupun kelak takdir tak mengijinkan untuk bersatu. Diantara kita, yang terlebih dahulu menikah pastilah kamu, sebab, aku tak akan mungkin mendahuluimu.
 
“Walau Tuhan tidak menjodohkan kita. Siapa tahu kelak anak kita akan berjodoh,” gumamku menghibur dalam kesunyian malam.

Oleh : Firdaus ILo

No comments :

Post a Comment